twitter
googleplus
facebook

Blogroll

Kamis, 25 Oktober 2012

Kurban dalam Narasi Demokrasi
Hari raya kurban adalah perayaan relasi mendekatkan diri dan hati kepada zat yang transsendental (Allah). Berasal dari bahasa Arab qaraba (mendekat), kurban memiliki dimensi eksistensial yang agung, bahwa hamba (manusia) semestinya senantiasa dekat dengan Allah. Gebalau dunia menciptakan manusia-manusia yang terkotori oleh hasrat duniawi sehingga pelahan menjauhi nilai-nilai keilahian. Karena manusia adalah homo simbolis (manusia simbol).
Kurban menjadi ruang bagi tanda, petanda, dan penanda untuk arena tafsir, demi memahami pesan Tuhan secara konstekstual. Kegagalan memahami simbol ritual kurban akan menjatuhkan ibadah ini pada tingkat banalisme, yang semakin menjustifikasi manusia sebagai homo festifus (manusia festival/perayaan) dan homo ludens (manusia bermain). 

Sejarah kurban sendiri dimulai ketika Kabil (Kain) dan Habil (Abel), dua putra Adam yang berselisih paham, lantas mempersembahkan kurban untuk ujian siapa yang lebih dekat kepada Tuhan. Kurban Habil diterima karena ia sungguh-sungguh mengikhlaskan apa yang dicintainya sebagai bukti kecintaan kepada Tuhan.
Ibrahim meneruskan tradisi itu, ketika Tuhan memintanya untuk mengorbankan Ismail sebagai tanda ketundukan kepadaNya. Kesungguhan Ibrahim unuk menjadikan Ismail sebagai bukti keimanannya, diterima di sisi Allah. Saat pedang siap memutus leher Ismail, Tuhan menggantinya dengan kambing.
Dari sejarah itu, makna kurban menyimpan relasi “politik” antara hamba dan Tuhan. Berkurban adalah tindakan politik dari hamba kepada Tuhan, untuk menunjukkan betapa mereka dekat dan tunduk kepadaNya, -dan yang lebih penting-, rela mengorbankan sesuatu yang dicintainya. Habil dikisahkan mempersembahkan kurban berupa kambing yang besar dan sangat dicintainya. Sedangkan Ibrahim dengan anak yang sekian lama didambakannya.
Yang mungkin tidak diuangkap dalam banyak sejarah adalah, bahwa sebelum Kabil dan Habil berkurban, atau Ibrahim mengorbankan anaknya, terjadi proses dialog dan tekanan batin yang cukup alot. Perseteruan Kabil dan Habil karena Kabil tak mau menikahi sudara kembar Habil, namun karena ingin menikah dengan saudara kembarnya sendiri, adalah konflik keluarga Adam yang gagak diselesaikan secara kekeluargaan. Sehingga kurban menjadi media untuk membuktikan siapa-siapa yang benar-benar ikhlas dan tunduk pada perintah Tuhan dan syariat pernikahan dari Adam.
Ibrahim meminta pendapat anaknya, apakah ia rela dikorbankan karena itu merupakan perintah Tuhan. Ibrahim mengalami tekanan batin yang kuat, dan keyakinannya mengatakan bahwa perintah melalui mimpi itu benar adanya. Negosiasi antara Ibrahim dan Ismail mengajarkan betapa pentingnya dialog dan totalitas penerimaan-penyerahan diri yang sesuatu yang transenden. Kesadaran eksistensial bahwa Adam dan Ibrahim hanyalah utusan Tuhan di bumi.  
         
Dimensi politis 
Pelajaran kurban menyisakan dilema bagi dunia politik kita yang menegasikan rakyat dari panggung kebijakan dan kemakmuran. Demokrasi yang dianut Indonesia menjadi penting untuk melihat betapa relasi antara rakyat dan wakil rakyat (politisi) mirip dengan relasi Tuhan dan nabiNya. Ini terlegitimasi dalam jargon demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Kondisi politik kita sejatinya adalah medan konstelasi bagi lahirnya spirit berkurban. Demokrasi menjadikan rakyat (demos) sebagai kolektivisme “transsendental” yang memberikan amanat bagi anggota legislatif untuk merampungkan program-program kerakyatan. Kebijakan menjadi ruang untuk  mendekatkan diri kepada rakyat.
Pelajaran dari Adam maupun Ibrahim sebagai generasi awal tindakan berkurban adalah bagiaman dialogisme menjadi hal yang esensial. Segala tindakan yang datang kemudian merupakan hasil diskusi, sehingga yang muncul merupakan kesadaran totalitas dan kesalingpercayaan. Dalam demokrasi inilah, yang didambakan oleh Juergen Habermas dengan konsep ruang publik politis (politic public sphere), akan terwujud menjadi nyata. Bahwa elemen-elemen politik (rakyat, wakil rakyat, pemerintah) bisa berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, dan mereka disatukan dalam pola komunikasi yang egaliter dan produktif.
Kebijakan untuk menyejahterakan dan memakmurkan rakyat serupa dengan hewan kurban yang disembelih. Siapa politisi yang berhasil mengeksekusi program kerakyatan, dialah “utusan” terpilih, yang berhasil melaksanakan perintah dari yang transcendental dalam demokrasi (rakyat). Mereka seperti Habil dan Ibrahim yang dengan keikhlasan tinggi, rela mengorbankan paling berharga dari miliknya.
Kurban bukan hanya sekedar ritual potong hewan untuk kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat yang kurang mampu. Substansi kurban sebagai dimensi politik dan demokrasi layak digaungkan sebagai model pengingatan akan kodrat demokrasi. Demokrasi dan proses politik yang terjadi hari ini justru asyik masyuk dengan urusan-urusan profan, karena butuh wacana profetisisasi demokrasi, dengan kurban sebagai “agen” mengembalikan demokrasi dalam wujud asalinya.
Rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Para politisi hanya utusan untuk menyelenggarakan roda pemerintahan agar berjalan dengan baik. Kurban akan mengesahkan kita sebagai homo politis (manusia yang berpolitik), yang menjadikan kemaslahatan bersama adalah tujuan konkret politik.

Junaidi Abdul Munif
Santri Ponpes Luhur Wahid Hasyim Semarang, Direktur el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang
  • Title :
  • Labels :
  • Author :
  • Rating: 100% based on 10 ratings. 5 user reviews.
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Sample Text

    Blogger news

    Copyright © 2012 PPLWH-Semarang | Powered by Aieq. Diberdayakan oleh Blogger.

    Social Icons

    Social Icons

    Cari Blog Ini

    Featured Posts

     

    Pengikut

    About This Template

    ASMAUL HUSNA


    About Me

    Foto Saya
    Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
    Jl. Menoreh Tengah II/ 14 Sampangan