twitter
googleplus
facebook

Blogroll

Senin, 09 September 2013

Matasa dan Problem Nama



            Peribahasa mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Di Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim, peribahasa ini sering diplesetkan menjadi, tak kenal maka ta’aruf.  Ta’aruf, kenalan, menjadi narasi hubungan antar-manusia, yang mengenal tiga tingkatan; tahu, kenal, dan dekat.
Tahu adalah tingkatan paling dasar dari hubungan manusia. Misalnya, saya tahu siapa itu Pak Noor Achmad. Beliau rektor Unwahas. Apa kita kenal dengan Pak Noor? Bagi aktivis mahasiswa yang sering blusukan di rektorat, mungkin kenal. Lantas, apa setiap orang yang tahu, kenal dengan pak rektor, akan menjadi dekat? Ternyata tidak.
            William Shakespeare boleh mengatakan, what is a name, apalah arti sebuah nama. Nama mungkin tidak penting karena hanya pelengkap identitas. Tapi nama bisa demikian penting untuk membedakan antara orang yang satu dengan orang lain. Mungkin itu tak cukup, karena banyak orang bernama sama, dan kita kemudian membedakannya berdasarkan daerah, fakultas, organisasi, dan atribut yang melekat di penyandang nama tersebut.
Di tengah kultur inidividualisme, nama mungkin dibutuhkan dalam administrasi; registrasi kuliah, KTP, SIM misalnya. Di pergaulan manusia sehari-hari, nama asli seringkali disembunyikan. Dulu, sewaktu saya SMP, kami, para murid lelaki masing-masing punya nama panggilan, yang jelek-jelek. Namun di situlah keakraban bermula, dibangun, dan dipertahankan. Saya menduga, seseorang dapat dikatakan kenal baik atau dekat dengan seseorang, manakala dia memanggil kawannya dengan nama panggilan yang “jelek” itu.
            Nah, dalam konteks ketika nama asli hanyalah  nama administratif, nama asli tak layak muncul di dunia maya, jejaring sosial semisal facebook, di sinilah urgensi Matasa (masa ta’aruf santri) sebagai masa perkenalan santri dipertahankan sebagai model kenalan resmi, semua santri berkumpul dalam bingkai komunalisme calon anggota keluarga Ponpes Luhur Wahid Hasyim. Meski perkenalan secara informal; satu fakultas, satu kamar, satu komunitas, satu daerah asal, akan lebih efektif sebagai model kenalan yang dapat mengikatkan kebersamaan.
            Mahasiswa dan santri hari ini adalah mahasiswa yang kian sibuk dengan urusannya. Santri mengenal santri lain dari luar kamar, mungkin saat ngaji, kuliah, bermain futsal. Saya merasakan betul, semakin tahun saya merasa kian berjarak dengan santri baru, dengan nama-nama khas generasi 1990-an pertengahan yang terasa sulit diingat dan diucapkan oleh generasi sebelumnya.
Di Matasa ini kita ta’aruf, kenalan, menjadi dekat, merasakan kebersamaan sebagai komunitas yang saling menopang, menjaga nama baik, menjaga rahasia. Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim bukan hanya nama sebuah lembaga. Dia nama tempat di mana banyak hikmah bisa digali, dan kemuliaan dapat dicari. Berkenalanlah, dan kenallah lebih dekat, agar rasa sayang kian lekat di hati yang semakin berkarat.    

Oleh Junaidi Abdul Munif 
  • Title : Matasa dan Problem Nama
  • Labels :
  • Author :
  • Rating: 100% based on 10 ratings. 5 user reviews.
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Sample Text

    Blogger news

    Copyright © 2012 PPLWH-Semarang | Powered by Aieq. Diberdayakan oleh Blogger.

    Social Icons

    Social Icons

    Cari Blog Ini

    Featured Posts

     

    Pengikut

    About This Template

    ASMAUL HUSNA


    About Me

    Foto Saya
    Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
    Jl. Menoreh Tengah II/ 14 Sampangan