Peribahasa mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Di Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim, peribahasa ini sering diplesetkan menjadi, tak kenal maka ta’aruf. Ta’aruf, kenalan, menjadi narasi hubungan antar-manusia, yang mengenal tiga tingkatan; tahu, kenal, dan dekat.
Tahu adalah tingkatan paling
dasar dari hubungan manusia. Misalnya, saya tahu siapa itu Pak Noor Achmad.
Beliau rektor Unwahas. Apa kita kenal dengan Pak Noor? Bagi aktivis mahasiswa
yang sering blusukan di rektorat, mungkin kenal. Lantas, apa setiap
orang yang tahu, kenal dengan pak rektor, akan menjadi dekat? Ternyata tidak.
William
Shakespeare boleh mengatakan, what is a name, apalah arti sebuah nama. Nama
mungkin tidak penting karena hanya pelengkap identitas. Tapi nama bisa demikian
penting untuk membedakan antara orang yang satu dengan orang lain. Mungkin itu
tak cukup, karena banyak orang bernama sama, dan kita kemudian membedakannya
berdasarkan daerah, fakultas, organisasi, dan atribut yang melekat di
penyandang nama tersebut.
Di tengah kultur
inidividualisme, nama mungkin dibutuhkan dalam administrasi; registrasi kuliah,
KTP, SIM misalnya. Di pergaulan manusia sehari-hari, nama asli seringkali
disembunyikan. Dulu, sewaktu saya SMP, kami, para murid lelaki masing-masing
punya nama panggilan, yang jelek-jelek. Namun di situlah keakraban bermula,
dibangun, dan dipertahankan. Saya menduga, seseorang dapat dikatakan kenal baik
atau dekat dengan seseorang, manakala dia memanggil kawannya dengan nama
panggilan yang “jelek” itu.
Nah,
dalam konteks ketika nama asli hanyalah
nama administratif, nama asli tak layak muncul di dunia maya, jejaring
sosial semisal facebook, di sinilah urgensi Matasa (masa ta’aruf santri)
sebagai masa perkenalan santri dipertahankan sebagai model kenalan resmi, semua
santri berkumpul dalam bingkai komunalisme calon anggota keluarga Ponpes Luhur
Wahid Hasyim. Meski perkenalan secara informal; satu fakultas, satu kamar, satu
komunitas, satu daerah asal, akan lebih efektif sebagai model kenalan yang
dapat mengikatkan kebersamaan.
Mahasiswa
dan santri hari ini adalah mahasiswa yang kian sibuk dengan urusannya. Santri
mengenal santri lain dari luar kamar, mungkin saat ngaji, kuliah, bermain
futsal. Saya merasakan betul, semakin tahun saya merasa kian berjarak dengan
santri baru, dengan nama-nama khas generasi 1990-an pertengahan yang terasa
sulit diingat dan diucapkan oleh generasi sebelumnya.
Di Matasa ini kita ta’aruf,
kenalan, menjadi dekat, merasakan kebersamaan sebagai komunitas yang saling
menopang, menjaga nama baik, menjaga rahasia. Pondok Pesantren Luhur Wahid
Hasyim bukan hanya nama sebuah lembaga. Dia nama tempat di mana banyak hikmah
bisa digali, dan kemuliaan dapat dicari. Berkenalanlah, dan kenallah lebih
dekat, agar rasa sayang kian lekat di hati yang semakin berkarat.
Oleh Junaidi Abdul Munif
Rating:
100%
based on 10 ratings.
5 user reviews.
0 komentar:
Posting Komentar