twitter
googleplus
facebook

Blogroll

Sabtu, 20 Oktober 2012

Karakteristik Ulama Nahwu


KARAKTERISTIK ULAMA NAHWU (NUHAT) KUFAH BASRAH

Pendahuluan

Tidak dipungkiri, bahasa adalah alat komunikasi, sarana yang digunakan seseorang (atau mungkin juga hewan) untuk menyampaikan keinginan maupun ide kepada orang lain. Bahasa adalah sarana untuk menginformasikan sesuatu atau keadaan kepada orang lain. Bahasa harus jelas dan bisa dimengerti bersama antara yang menyampaikan dan yang menerima. Bila bahasa tersebut hanya dimengerti oleh salah satu pihak, tidak akan terjadi proses komunikasi. Konon, keadaan bangsa Indonesia yang masih terbelakang, juga karena sistem bahasa (prakteknya) yang tidak jelas dan mengandung banyak ambiguitas.


Bahasa, menurut salah satu pendapat, lahir dari sistem budaya yang dipengaruhi oleh psiko-sosial suatu komunitas, terstruktur dari sekumpulan simbol yang disepakati akibat adanya interaksi dan komunikasi yang terjadi antara individu dalam komunitas tersebut (Ya’qub, tt:13). Bahasa, baik lisan maupun isyarat, yang ada dan dipakai di suatu komunitas, tentu tidak akan memiliki makna ketika digunakan di komunitas lain yang tidak menggunakan bahasa tersebut sebagai alat komunikasinya.

Bahasa merupakan simbol yang signifikan bagi manusia. Bahasa juga menjadi salah satu aspek yang membedakan antara bangsa satu dengan lainnya, bahkan yang membedakan manusia dengan hewan (الإنسان حيوان ناطق). Maka, kalau ada bahasa yang dipergunakan suatu masyarakat tidak jelas (ambigu), eksistensi ke-insan-an pemakai bahasa tersebut patut dipertanyakan.

Kelahiran bahasa, pada tataran praktis (lisan), berasal dari proses peniruan, meniru dari suara atau bunyi orang di luar dirinya. Ada istilah bahasa ibu, maksudnya berkomunikasi secara lisan maupun tulisan dengan menggunakan bahasa yang dikenalkan sejak ia lahir, atau orang berbahasa dengan bahasa yang dipakai masyarakat tempat ia dilahirkan

Bahasa yang lahir dari proses peniruan ini tidak akan bermasalah selama si pemakai tidak berbaur di suatu komunitas yang mempergunakan bahasa lain. Demikian juga, tidak akan mendapatkan masalah jika si pemakai tidak akan mengucapkan sesuatu apapun dalam bahasa lisan, selama belum mengetahui secara pasti bagaimana cara yang benar mengucapkan sesuatu tersebut.

Kelahiran ilmu nahwu dipicu oleh berbaurnya Bangsa Arab dengan bangsa lain, ketika terjadi rangkaian-rangkaian usaha penyebaran agama Islam dan penghapusan kedaliman. Keberhasilan “dakwah” mengharuskan kaum Arab berdomisili di tempat barunya, terutama para tentara, agar tetap terjaga stabilitas. Perlu sosialisasi, maka merekapun berkomunikasi dengan masyarakat baru tersebut, dengan menggunakan bahasa ibunya, Arab. Ada proses peniruan oleh masyarakat, dalam proses itu timbul kesalahan-kesalahan. Dari sini tersusunlah kemudian ilmu nahwu yang pada perkembangan selanjutnya menjadi suatu disiplin yang tidak boleh ditinggalkan bagi siapapun yang ingin mengerti dan mendalami agama Islam.

Ilmu nahwu pada mulanya lahir dan tumbuh di Bashrah, namun kemudian pada periode-periode berikutnya tersebar ke negeri-negeri Islam lainnya, seperti Kufah, Baghdad, Mesir dan Andalusia. Ada beberapa manfaat dari mempelajari nahwu, di antaranya; dapat memahami dengan benar susunan kata-kata Bahasa Arab yang terdapat pada literatur-literatur hukum Islam (al-Qur’an, al-Hadits dan kitab-kitab Fiqh), dapat menyusun kata-kata Bahasa Arab dalam susunan yang sesuai dengan kaidahnya, dan dapat menentukan kedudukan-kedudukan kata dan dapat mengambil pengertiannya dengan benar.

Tulisan ini bermaksud membicarakan perkembangan nahwu setelah kelahirannya di Bashrah. Pembicaraan dibatasi hanya pada dua tempat yang merupakan kiblat utamanya, yaitu Bashrah dan Kufah. Sistematikanya, setelah melihat latar sosio-kultural dua tempat tersebut dilanjutkan dengan beberapa contoh perbedaan di antara keduanya.

Nahwu Di Tengah Ilmu-Ilmu Lainnya

Ilmu nahwu sejak masa Daulah Abbasyiyyah di Bashrah dan Kufah hingga masa Daulah Andalusia merupakan disiplin yang sangat penting dan utama. Begitu penting dan utamanya kedudukan tersebut sehingga seorang ahli nahwu pada saat itu memperoleh kehormatan dan posisi yang mulia dan tinggi di samping para khalifah dan para pejabat pemerintahan. Ilmu nahwu ini juga menjadi prasyarat yang pertama bagi pencapaian terhadap ilmu-ilmu lainnya. Oleh karena itu, jika ada seorang ahli nahwu yang dianggap piawai, kebesarannya senantiasa dikenang bahkan sampai ia meninggal sekalipun.

Kiranya perlu juga diketahui bahwa belajar nahwu pada masa-masa awal kelahirannya, yaitu di masa Daulah Abbasyiyah tidak didasarkan pada spisifikasi tertentu. Dalam suatu pengertian, mempelajari ilmu nahwu akan melepaskan diri dengan ilmu-ilmu lainnya. Situasi demikian mengharuskan seorang alim (ilmuan) atau pemikir mendalami hampir semua ilmu, karena ia tidak akan benar-benar dianggap sebagai seorang ilmuan sebelum ia menguasai ilmu-ilmu yang berkembang pada masa tersebut. Dalam pada itu, seorang ahli nahwu dapat saja ia belajar ilmu fiqh, qira’ah, meskipun kemudian ia lebih dikenal dalam bidang ilmu nahwu, bukan ilmu fiqh maupun tafsir.

Dengan bahasa yang lain, tidaklah mengherankan apabila seorang ilmuan pada saat itu mampu menulis sejumlah disiplin ilmu dengan kadar yang sama antara satu tulisan dengan tulisan lainnya. Artinya pengetahuannya tentang satu ilmu tidaklah lebih menonjol daripada ilmu yang lainnya. Seolah-olah semua ilmu yang dikuasai sama bobotnya di kepala ilmuwan tersebut.

Sekedar contoh bisa disebutkan di sini seperti al-Suyuthi yang lebih dikenal sebagai ahli Tafsir. Sebenarnya ia juga mempunyai banyak tulisan yang membicarakan berbagai macam disiplin, seperti bahasa dan juga sejarah. Contoh lain Ibn Aqil, sebagai ulama yang dikenal ahli di bidang ilmu nahwu, ia juga belajar fiqh di madrasah “al-Kharubiah” yang didirikan oleh Badruddin Muhammad bin Ali al-Khurabi (w. 750 H.) Demikian juga al-Samin yang dikenal dengan nama Syihabuddin Ahmad bin Yusuf bin Abdul al-Da’im al-Halaby, seorang pengajar ilmu qira’ah di Universitas Ibn Thulun, ia memiliki karya-karya di bidang nahwu seperti kitab “I’rab al-Qur’an” yang kemudian dikenal dengan kitab “Syarhu al-Tashil”. Oleh karena itu, pada masa ini seorang yang pandai dalam ilmu Fiqh atau Tafsir, dan bahkan Sejarah, ia bisa dipastikan ahli dan menguasai bidang ilmu nahwu.

Dalam situasi demikian, tidak mudah memisahkan antara disiplin ilmu tertentu dan kajian-kajian nahwu dalam metode pembelajarannya. Meskipun pada masa ini, ilmu nahwu mendapatkan porsi yang sangat besar dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Oleh karena itu, tidaklah salah jika dikatakan bahwa ilmu nahwu merupakan ilmu yang paling penting dalam membentuk peradaban pada masa itu. Tidak ada satu ilmupun yang melepaskan dirinya atau yang tidak memerlukan ilmu nahwu.

Begitu juga dalam membangun tradisi linguistik Arab, ilmu nahwu merupakan salah satu bagian penting di samping ilmu bahasa (ilmu al-Lughah), ilmu bayan (ilmu al-Bayan), dan ilmu sastra (al-Adab). Kini, dalam tradisi linguistik modern, ilmu nahwu dipandang sebagai bagian dari ilmu al-Lughah (علم اللغة) atau linguistik. Para ahli linguistik sekarang berpandangan bahwa linguistik adalah sebuah sistem umum (النظام العام) yang dibangun oleh sistem-sistem di bawahnya yang bersifat parsial (الآنظمة الجزئية), yaitu sistem gramatikal (النظام النحو), sistem morfologi (النظام الصرفى), sistem fonologi (النظام الصوتى), dan sistem makna (النظام الدلالى).

Kelahiran dan Perkembangan Nahwu

Dalam sebuah riwayah disebutkan, “Suatu hari Abu al-Aswad al-Du’ali berkunjung ke Ubaidillah ibn Ziyad, wali kota Bashrah. Abu al-Aswad berkata : Saya melihat orang-orang Arab kini bicaranya tidak teratur, lidah mereka tidak fasih (al-Lahn) berbicara Arab karena pergaulannya dengan bangsa lain ( orang-orang ajam), bagaimana kalau misalnya saya susun sebuah buku yang dapat dijadikan pedoman dalam berbahasa Arab? Kontan Ziyad menjawab ”jangan!” Pada hari yang lain, datang pula kepadanya seorang laki-laki, dan berkata, "أصلح الله الآمير، توفى أبانا وترك بنونا" (semoga Tuan diberkahi kedamaian, telah diambil hak ayah kami sedang dia meninggalkan banyak anak). Sang Amir terperanjat, lalu berkata “Panggil kemari Abu al-Aswad !”. Kemudian ia berkata “Susunlah apa yang dulu aku larang !”.

Dikisahkan juga, pada suatu malam yang penuh bintang, Abu al-Aswad keluar rumah untuk menikmati indahnya malam bersama putrinya. Sang putri berkata: “ما أحسن السماء” = nun di-dlommah, hamzah di-kasroh (apa yang paling indah di langit). Ayahnya menjawab “نجومها” (yang paling indah di langit adalah bintangnya). Lalu putrinya menimpali, ”saya tidak bertanya, tapi mengutarakan kekaguman”. Mendengar ucapan putrinya demikian, Abu al-Aswad menjelaskan “Kalau begitu, ucapan yang benar adalah "ما أحسن السماء" nun dan hamzah di-fathah (betapa indahnya langit). Sejak saat itu Abu al-Aswad menyusun ilmu nahwu, dan yang pertama disusun adalah mengenai Ta’ajub.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa penyusun pertama ilmu nahwu adalah Abu al-Aswad al-Du’ali. Selain itu, ada juga pendapat lain yang menyebutkan Abdurrahman ibn Hurmuz. Sementara yang lain mengatakan Nashr ibn Ashim. Namun pendapat yang paling shahih adalah Ali ibn Abi Thalib sebagai peletak pertama dasar-dasarnya, kemudian disusun dan dikembangkan oleh Abu al-Aswad. Dia sendiri pernah ditanya, “dari mana kau dapatkan (ilmu) ini?”. “Dari arahan-arahan Ali ibn Abi Thalib”, jawabnya (Dhaif, 1976:13).

Menilik masa perkembangan ilmu nahwu, ada 4 (empat) fase. Pertama, masa peletakan dan penyusunan. Ini berpusat di Bashrah, sejak peletakan pertama oleh Abu al-Aswad sampai al-Khalil ibn Ahmad. Kedua, masa pertumbuhan, yaitu masa perkembangan di mana kiblat nahwu sudah dua arah Bashrah dan Kufah. Tokoh pada fase ini Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan al-Ru’asi, Abu Utsman al-Mazini al-Bashri dan Ya’qub ibn al-Sikkit al-Kufi. Ketiga, fase kematangan dan penyempurnaan. Otoritas ilmu nahwu pada masa ini masih berada di tangan ulama-ulama di kedua kota tersebut. Mereka itu, selain kedua tokoh di atas adalah al-Mubarrad al-Bashri dan Tsa’lab al-Kufi. Keempat, fase terakhir nahwu sudah menyebar ke berbagai kota, seperti Baghdad, Mesir, Syiria, dan Andalusia. Penyebar nahwu di kota-kota ini adalah para alumni madrasah-madrasah yang berada di Bashrah dan Kufah (Dlaif, 1976: 27).

Pada masa peletakan dan penyusunan yang terjadi di Bashrah, ada beberapa faktor yang mendorong ulama-ulama di kota ini melakukannya. Diantaranya adalah faktor agama, nasionalisme Arab, dan juga faktor sosiologis. Faktor agama sangat terkait erat dengan keinginan atau tanggung jawab para ulama untuk menjaga dan menyampaikan al-Qur’an agar terhindar dari kesalahan. Hal ini didasarkan kenyataan adanya kesalahan baca beberapa ayat oleh sebagian orang. Sudah tentu mereka adalah orang-orang non-Arab. Faktor kedua adalah nasionalisme Arab. Faktor ini berkaitan dengan adanya keinginan orang-orang Arab untuk memperkuat kedudukan Bahasa Arab di tengah pembaurannya dengan bahasa-bahasa lain, disamping adanya kekhawatiran akan kepunahannya. Sedangkan faktor sosiologis berkaitan dengan kebutuhan masyarakat untuk memahami bahasa al-Qur’an.

Usaha yang dilakukan pertama kali oleh Abu al-Aswad bersama dengan dua orang muridnya Nashr ibn Ashim dan Abdurrahman ibn Hurmuz baru sampai pada usaha memberi harakat di huruf terakhir kata-kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-huruf Hija’iyyah, agar bisa dibedakan antara huruf satu dengan lainnya. Misalnya (ب, ت, ث), (ج, ح, خ) dan sebagainya.

Dasar-dasar yang diletakkan itu kemudian dikembangkan oleh ulam-ulama berikutnya yang juga merupakan murid-muridnya, seperti Abdullah ibn Abi Ishaq al-Hadrami (w. 117 H./735 M.), ulama nahwu pertama di Bashrah yang dikatakan sebagai “pakar intelektual nahwu Bashrah. Ulama lain adalah Isa ibn Umar al-Tsaqafi yang menyusun dua kitab nahwu “al-Jami’ dan al-Ikmal”dan Khalil ibn Ahmad al-Farahidi al-Bashri (w. 175 H./791 M.) yang merupakan murid dari Abu Ishaq. Mereka mengembangkan kaidah-kaidah yang telah dibuat gurunya dengan mempertajam kajian nahwu memperkuat dasar-dasar dan menetapkan fondasinya. Khalil ibn Ahmad sendiri adalah ulama yang membuat kaidah-kaidah tentang mabni, musytaq, i’lal, badal, amil dan ma’mul. Di samping itu ia menetapkan kaidah-kaidah sama’i, qiyas, dan ta’lil. Dia pula yang pertama menemukan rima musik Arab dan ilmu Arud. Meskipun demikian, ia mengomentari kitab yang dikarang rekannya dengan mengatakan dalam sebuah syair (Dhaif, 1976:29):

ذهب النحو جميعا كله *** غير ما أحدث عيسى بن عمر

ذاك إكمال وهذاجامع *** فهما للنـاس شـمس وقمر

Perkembangan dan penyebar luasan ilmu nahwu di Bashrah ini tidak lepas dari peranan Madrasah al-Bashriyah, sebuah lembaga pendidikan khusus yang dibentuk untuk membina nahwu di Bashrah yang didirikan pada masa Khalil ibn Ahmad al-Farahidi. Dari Madrasah ini lahir ulama-ulama nahwu lainnya seperti ; al-Akhfasy, al-Riyasyi, al-Mazini, al-Mubarrad dan al-Yazidi.

Tokoh besar lain di Bashrah adalah Abu Bishr Amr ibn Utsman ibn Qanbar yang lebih dikenal dengan Imam Sibawaih. Ia telah menyusun sebuah buku tentang nahwu “al-Kitab”. Oleh kebanyakan ulama, buku Sibawaih ini dianggap sebagai kitab utama ilmu nahwu “Qur’an al-Nahwi” yang tidak ada bandingannya, baik sebelum Sibawaih maupun sesudahnya.

Ilmu nahwu terus berkembang dan mendapatkan momentum perkembangannya yang pesat di masa Abbasyiyah, yaitu pertengahan abad ke- 2 H. Dari Bashrah ilmu nahwu terus berkembang ke Kufah, yang disebarkan oleh para alumni Madrasah al-Bashriyah. Mereka itu antara lain Ja’far al-Ruwasi dan Mu’adz al-Harra’. Al-Harra’ belajar kepada Abu Amr, sedang al-Ruwasi selain belajar kepada Abu Amr juga kekpada Isa ibn Umar dan Abu Amr al-Ala. Ketiganya ulama ini adalah tokoh nahwu di Bashrah. Sebagai pedoman murid- muridnya, al-Ruwasi menyusun kitab nahwu berjudul “al-Faishal”. Mereka berdua mengembangkan ilmu nahwu dan membina kader-kadernya di Kufah. Sejak itulah bermunculan ulama-ulama nahwu aliran Kufah, seperti: al-Kisa’i, dan muridnya al-Farra’. Kedua ulama ini telah menyusun satu bentuk nahwu dan meletakkan dasar-dasarnya yang berbeda dengan pendahulunya.

Tidak berbeda dengan di Bashrah, di Kufah lahir “Madrasah Kufiah” sebagai tempat pengkaderan ulam-ulama nahwu Kufah. Madrasah ini dipelopori oleh al-Ruwasi dan al-Harra’. Dari sini bermunculanlah ulama-ulama nahwu, seperti: Hamzah Muhammad ibn Sa’dan, Ali ibn Hazim al-Lihyani, Hisyam ibn Mu’awiyah al-Darir, ibn al-Sikkit, al-Thiwal dan Tsa’lab. Mungkin di Kufah sudah terbentuk madzhab tersendiri di bidang nahwu. Tetapi, bagaimanapun pengaruh Bashrah masih tetap ada, Karena memang di sanalah awal mulanya ilmu nahwu lahir. Apalagi ulama-ulama Kufah juga murid yang pernah belajar di Bashrah.

Rupanya Bashrah dan Kufah merupakan kiblat ilmu dan perlu diketahui, bahwa nahwu saat itu adalah primadonanya. Karena itu, banyak orang datang untuk menyerap yang ada di sana. Kini, pengaruh dua kota ini telah sampai ke Baghdad, dengan munculnya beberapa tokoh nahwu yang terkenal seperti: Abu Ali al-Farisi dan murid-muridnya, yaitu Ibn Jinni, ibn Kaisan, ibn Syuqair, dan ibn Khayyat. Di antara tokoh nahwu Baghdad ada yang condong ke Bashrah, ada juga yang condong ke Kufah. Usaha-usaha mereka pada umumnya diarahkan untuk melakukan seleksi terhadap pendahulunya, yaitu pendapat-pendapat dari ulama Bashrah maupun Kufah, di samping juga berijtihad dan mengeluarkan pendapat sendiri. Generasi yang terkahir dari Baghdad adalah al-Zamaksari, ibn Syajari, Abu al-Barakat al-Anbari, ibn Ya’syi, dan al-Ridla al-Istirabadi.

Di Andalusia juga berkembang ilmu nahwu pada 139 H./756 M. ilmu ini dibawa pertama kali ke Andalusia oleh Jaudi ibn Utsman al-Maurani yang sebelumnya pernah belajar kepada al-Kisa’i dan al-Farra’. Ia pula yang pertama memasukkan buku-buku nahwu Kufah ke negerinya, karena itu, pengaruh Kufahlah yang lebih dulu daripada Bashrah. Nahwu Bashrah masuk ke Andalusia baru sekitar abad ke 3 H. dibawa oleh al-Afusyniq Muhammad ibn Musa ibn Hasyim. Adapun tokoh-tokoh lainnya antara lain: Muhammad ibn Yahya al-Mahlabi, ibn Bazisi, al-Suhaili, ibn Hisyam al-Khadrawi, dan ibn Malik. Setelah itu, sekitar abad ke-8 H. tampil pula beberapa ulama seperti: Ibn Abi al-Rabi’ (w. 688 H.) dan ibn Hayyan (w. 745 H.).

Selain Baghdad dan Andalusia, ilmu nahwu juga berkembang di Mesir. Perkembangan di sini dengan jalan mengajarkan ke beberapa kota seperti Fustat dan Iskandariah. Ulama yang membawa nahwu ke Mesir ialah Wallad ibn Muhammad al-Tamimi. Ia adalah murid al-Khalil ibn Ahmad. Karena itu ketika kembali ke Mesir, ia membawa beberapa buku gurunya dan mengajarkannya kepada generasi-generasi muda Mesir. Ulama nahwu yang semasa dengannya ialah Abu al-Hasan al-Azzu yang menjadi murid al-Kisa’i. Ulama dari generasi berikutnya dari Mesir adalah al-Dainuri Ahmad ibn Ja’far, murid al-Mazini.

Para ulama nahwu generasi-generasi berikutnya, pada umumnya tidak lagi membuat kaidah-kaidah baru di bidang nahwu, tetapi mereka melakukan usaha memberikan syarah (memberikan penjelasan terhadap karya-karya sebelumnya), atau membuat hasyiyah, semacam membuat catatan pinggir sebagai komentar apa yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya.

Bila melihat sejarah kehidupan para ulama nahwu, sebenarnya mereka tidak hanya mendalami ilmu tersebut, tetapi juga ilmu-ilmu penting lainnya, seperti: bahasa, qira’ah, fiqh, hadits, dan juga sejarah. Lebih dari itu, merekapun belajar tekun ilmu Aqidah (teologi), sebut misalnya al-Farra’, yang dikenal sebagai ahli nahwu. Dia punya kecendrungan rasional karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh Mu’tazilah dan Khalifah al-Ma’mun, walaupun penganut “jalan tengah”, atau al-Suyuthi, yang dikenal dengan ilmu tafsir, ia juga mempunyai beberapa karya di bidang nahwu.

Tentang Perbedaan Bashrah dan Kufah

Kehidupan Islam di Bashrah dimulai sejak tahun 15 H /635 M yaitu ketika masuknya tentara Islam dibawa panglima Sa’ad ibn Abi Waqqas. Peristiwa ini terjadi di masa kekhalifahan Umar ibn Khatthab. Nama Bashrah diambil dari salah satu jenis bebatuan “al-bashrah, sejenis batu putih” yang digunakan oleh Utbah ibn Ghazwan untuk membangun kota yang berada di teluk Persia, tepian Sungai Tigris, dan dikelilingi padang pasir ini. Daerah ini hawanya nyaman dan tanahnya subur karena irigasi lancar dari sungai Tigris. Tidak heran, setelah beberapa tahun kemudian banyak orang dari daerah lain yang emigran ke sana.

Keramaian Bashrah berimbas ke Kufah 6 bulan setelahnya, dan selang beberapa tahun kemudian, Kufahpun menjadi tujuan orang-orang beremigran. Bashrah dan Kufah menjadi identik, karena itu, bila ditemui sebutan secara lisan maupun tulis “Iraqain” maksudnya adalah Bashrah dan Kufah.

Kufah berada di tepi kanan sungai Tigris. Pada th. 638 M. Sa’ad ibn Abi Waqqas, yang tiga tahun sebelumnya memimpin pasukan masuk ke Bashrah dan kemudian menetap di sana meminta idzin kepada Umar untuk pindah ke Kufah. Kufah lalu menjadi Ibu Kota Mesopotania bagian atas, yang dipimpin oleh seorang wakil gubernur untuk mengatur daerah Azerbaijan, Hamadan, Rayy (Teheran), Isfahan (Iran), Mosul (Irak), dan Qarqisyi.

Stabilitas politik di kedua daerah itu relatif terjaga hingga masa akhir kekhalifahan Utsman ibn Affan. Pada th.Namun, pada tahun 644–656 M. pertentangan internal mulai nampak, antara orang yang lebih dulu datang ke Bashrah dan orang-orang yang datang kemudian. Sementara itu, pada segi politik, Kufah juga telah menjadi pendukung fanatik Ali ibn Abi Thalib, karena alasan politik, pusat pemerintahan Ali dipindah ke sana. Repotnya lagi, dukungan ini sudah mengarah kepada ideologi dengan pernyataan “kepemimpinan harus dipegang Ali dan Keluarganya”, maka pada masa ini, berkecamuklah perang “Jamal” antara pendukung Ali dan A’isyah yang dipicu tewasnya Utsman, dan perang “Siffin” antara Ali dan Mu’awiyah.

Akhirnya timbul kecendrungan politis dalam diri masing-masing warga di kedua kota tersebut. Bashrah condong pada Utsman yang dalam hal ini direfresentasikan Mu’awiyah, sedang Kufah kepada Ahli Bait, Ali. Situasi psikologis demikian berdampak pada karya-karya sastra yang diciptakan masing-masing tokohnya, maka muncullah “kebanggaan” dengan mengidentifikasikan diri pada kelompok tersebut. Seperti tampak pada syair Hamdan:

فإذا فاخرتمونا فاذكروا *** مافعلنا بكم يوم الجمال

Selain masalah di atas, masalah lain yang menyebabkan adanya perbedaan pandangan di bidang nahwu antara ulama Bashrah dan Kufah. Aliran Bashrah, menurut Muhammad al-Thanthawi (108-115), didukung oleh situasi-situasi berikut:

Pertama, banyak warga Bangsa Arab dari suku yang dikenal fasih dalam tradisi berbahasa Arab mengungsi ke Bashrah, terutama dari suku Qais dan Tamim. Kedua, adanya pasar “al-Mirbad” di Bashrah. Pasar ini kedudukannya seperti pasar “Ukadh” di Arab pada zaman jahiliyah. Di pasar ini, para sastrawan (penyair), ahli sejarah dan ahli bahasa berkumpul untuk “beradu” kemampuan. Dari sini pula para ahli nahwu mendapatkan sesuatu sebagai rujukan kaidah nahwunya. Ketiga, posisi geografis yang mendukung kemurnian Bahasa Arab. Bashrah berada di tengah padang sahara, sebelah selatan laut dan sebelah baratnya Lembah Najd.

Adapun kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh kelompok Bashrah (Syauqi Dlaif, 1976), diantaranya:

1. Shifat hanya beramal pada nafi, istifham, dan maushuf. Baik itu secara maknawi, lafdhi ataupun taqdir (dikira-kirakan).

2. Yang merafa’kan mubtada’ adalah ibtida’ (karena posisinya di awal kalimat)

3. Fi’il harus mudzakar ketika digunakan untuk isim mudzakar, dan harus mu’anats ketika untuk isim mu’anats.

4. Mashdar adalah asal dari kalimat, sedangkan fi’il merupakan musytaqnya. Dengan kata lain mashdar adalah asal dari fi’il.

5. Na’ib fa’il tidak boleh diganti dengan dharf, jer majrur atau mashdar selam ada maf’ul bihi.

6. Tamyiz harus terbentuk dari isim nakirah

7. Kata (بئس) dan (نعم) adalah kata kerja, begitu pula fi’il ta’ajub

8. Tidak boleh membuat taukid dari isim nakirah.

9. Fi’il mudlari’ yang jatuh setelah (حتى), (أو) atau (فاء السببية) atau (واو المعية) dinashabkan dengan (أن ) yang harus tersimpan (mudlmar)

10. Fi’il mudlari’ mu’rab karena menyerupai isim fa’il.

11. Setelah (كى), أن tidak boleh ditampakkan, tetapi harus mudlmar (tersimpan)

12. (أن) Yang sudah dibuang (محذوفة) tidak bisa beramal lagi (tidak berfungsi manashabkan).

Kemudian Kufah juga membangun tradisi nahwunya sendiri yang berbeda dengan pendahulunya, yaitu tradisi yang telah dikembangkan di Bashrah. Para ahli Kufah mendasarkan kaidah bahasanya dari qabilah yang bahasanya tidak populer dan dikenal tidak fasih seperti Bani Asad dan dari orang-orang Yaman yang sudah berasimilasi dengan bangsa-bangsa luar.

Orang-orang Kufah dikenal sangat gemar membuat syair, hingga pernah Sayyidina Ali memarahi mereka karena terlalu terlena dengan syair-syairnya, sementara saat itu pengikut Ali semestinya harus mempersiapkan diri untuk perang melawan “khawarij”. Ali berkata “Kalau kalian terlalu asyik dengan membuat amtsal-amtsal dan mendeklamsikan syair-syair, hingga melalaikan persiapan Jihad ini, sungguh kalian telah disibukkan oleh kebathilan dan kesesatan”.

Di Kufah ini juga ada pasar “al-Kunasah” sebagai arena mendemontrasikan kemampuan para ahli di bidangnya masing-masing, meskipun perannya tidak seperti al-Mirbad di Bashrah. Seperti telah disinggung di atas, tokoh pertama di bidang nahwu di kota ini adalah al-Ru’asi dan pamannya al-Harra’.

Beberapa kaidah yang diklasifikasikan sebagai madzhab Kufah antara lain :

1. Adad yang menunjukkan makna tikrar (التكرار) mengikuti wazan fu’al dan maf’al (فعال, مفعل)dan tidak boleh ditanwin.

2. Kata (أجمع) dan (جمعاء) boleh dibentuk Isim tatsniyah, seperti (أجمعاك, أكتعان, أبتعان) dan (جمعاوانو كتعاوان, بتعاوان)

3. Syarth dan jaza’ (الشرط) dan (الجزاء) di jazamkan dengan kaifa atau kaifama (كيف, كيفما).

4. Bahwa (إن النافية) beramal (fungsi) seperti amalnya (ليس).

5. Dlamir yang kembali kepada mashdar dapat beramal pada dharf.

6. Isim boleh dijazamkan oleh (أن) mudlmarah

7. Boleh membuat athaf mufrad (عطف المفرد) dengan (لكن)

8. Kata (حاش) pada kalimat “حاش لله” adalah kata kerja fi’il.

9. Kata (خلا) ketika didahului oleh (ما) tidak selalu kata kerja, tetapi dapat pula sebagai isim.

10. Dlamir muttashil yang ada pada fa’il dapat meruju’ kepada kata yang posisinya jatuh sesudahnya.

11. كذا boleh diidlofahkan kepada isim mufrad atau isim jama’

12. Boleh mengathafkan isim pada dlamir majrur tanpa mengikutkan huruf jarnya.

Beberapa perbedaan lain terkadang hanya menyangkut istilah, dan bukan masalah yang prinsip. Berikut peristilahan yang berbeda nama antara Bashrah dan Kufah :

1. Bashrah = na’at, Kufah = sifat

2. Bashrah = badal, Kufah = turjumah

3. Bashrah = dharf, Kufah = mahal

4. Bashrah = Jar, Kufah = khafd

5. Bashrah = mashruf dan ghairu mashruf, Kufah = majra dan ghairu majra

6. Bashrah = wawu ma’iyah, Kufah = wawu sharf

7. Bashrah = dlamir sya’n, Kufah = dlamir majhul

8. Bashrah = fi’il muta’addi, Kufah = fi’il waaqi’

9. Bashrah = fi’il majhul, Kufah = lam yusamma failuh

10. Bashrah = tamyiz, Kufah = mufassir

Mengenai lafal (أللهم), menurut aliran Bashrah, yang direpresentasikan oleh al-Khalil, ia merupakan kata yang diikuti oleh mim musyaddah (mim tasydid) sebagai ganti dari huruf ya, yang semestinya ada di depan lafal (ألله). Sementara menurut Kufah, direpresentasikan al-Farra’, berasal dari (ألله أمنا بخير), diringkas menjadi (أللهم) untuk memudahkan pengucapan, karena kata ini sering digunakan.

Kemudian lafal (هلم), menurut Bashrah, ia adalah struktur gabungan dari huruf ha tanbih (ها التنبيه) dan kata kerja lumma (لم). Demi kepraktisan, diringkas (هلم). Sedangkan Kufah lain lagi, ia berasal dari ungkapan (هل أم), yaitu dari kata kerja umma (maksud), yang huruf hamzahnya disembunyikan dan diberikan kepada huruf lam, lalu sukunnya lam dibuang, maka jadilah (أللهم). Demikianlah “othak-athik otak”.

Perbedaan-perbedaan tersebut terkadang menjadi acak dan rancu antara Bashrah dan Kufah yang disebabkan tidak jelasnya “afiliasi” murid-murid dari ulama-ulama pendahulunya. Di antara mereka mungkin teridentifikasi sebagai ulama Kufah, tetapi dalam berpendapat mengikuti gurunya yang dari Bashrah. Atau mungkin sebaliknya, meskipun keduanya sama-sama berlandaskan riwayah dan qiyas. Apalagi bila ditarik lebih ke depan, di mana nahwu sudah tidak hanya berpusat di kedua kota tersebut, tetapi sudah terpencar ke Baghdad, Mesir, dan Andalusia.

Penutup

Pada dasarnya nahwu yang dikembangkan oleh ulama-ulama Kufah dengan meletakkan kaidah-kaidahnya tidak berbeda dengan apa yang kembangkan Ulama Bashrah, karena keduanya memang berasal dari satu institusi yang sama, Bashrah. Meskipun demikian, banyak juga perbedaan yang disebabkan oleh berlainannya sumber bahasa yang dijadikan sebagai basis riwayah dan qiyas.

Perbedaan antara nahwu Bashrah dan Kufah, secara sederhana bisa disimpulkan bahwa nahwu aliran Bashrah adalah nahwu yang cenderung murni berdasarkan bahasa al-Qur’an dan bahasa dari suku-suku yang dikenal fasih bahasa Arabnya, seperti Qais dan Tamim, yang kebanyakan tinggal di Najd, Tihamah, dan Hijaz. Sedangkan nahwu Kufah cenderung mengikuti pola pemikiran fiqh di dalam meletakkan asal-usul, dasar-dasar dan kaidah-kaidah nahwu, di samping sumber pengambilannya yang lebih meluas hingga ke suku-suku yang tidak dikenal kefasihannya, seperti suku “al-Tsawin” dari Bani Asad di Yaman.

Karakter dan teknik pengambilan yang berbeda,pada gilirannya membawa aliran nahwu Kufah berpredikat independen. Namun, predikat ini tidak secara mutlak, karena ia tetap mendasarkan pada apa yang telah ditetapkan Ulama Bashrah. Upaya nahwu Kufah untuk membuat “kepribadiannya” dilakukan dengan menganalisa ulang partikel dan kata, membuat istilah-istilah baru, atau terus melahirkan pandangan-pandangan baru.þ

SUMBER RUJUKAN

Al-Barakat, Kamaluddin Abu. 1993. Al-Inshaf fii Masa’il al-Khilaf. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (Ed.). Beirut: Al-Maktabah Al-Ushriyyah.

Al-Jurjani, Abdul Qahir. Tanpa tahun. Al-Muqtashad fii Syarhi Al-Idhoh. Beirut: Dar el-Fikr.

Al-Nadim, Muhammad ibn Ishaq Abu al-Faraj. 1978. Al Fihrisat. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Dhaif, Syauqi. 1976. Al-madaris Al-Nahwiyyah. Mesir: Dar al-Ma’arif.

Ibn Khaldun, Abdurrahman ibn Muhammad. 1984 Muqaddimah ibn Khaldun. Beirut : Dar al-Qalam.

Ibn Malik, Abdullah. Tanpa tahun. Al-fiyah ibn Malik fi al-Nahwi wa al-Sharf. Kairo: Dar al-Qahirah.

Lewis, Bernad. At. Al. 1970. The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill.

Ya’qub, Emil Badi’. Tanpa tahun. Fiqh al-Lughah al-Arabiyah wa Khasha’ishiha. Bairut: Dar al-Tsaqafah al-Arabiyah.

Zaidan, Jurji. Tanpa tahun. Tarikh Adab al-Lughah al-Arabiyah. Kairo: Dar al-Hilal.

  • Title : Karakteristik Ulama Nahwu
  • Labels :
  • Author :
  • Rating: 100% based on 10 ratings. 5 user reviews.
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Sample Text

    Blogger news

    Copyright © 2012 PPLWH-Semarang | Powered by Aieq. Diberdayakan oleh Blogger.

    Social Icons

    Social Icons

    Cari Blog Ini

    Featured Posts

     

    Pengikut

    About This Template

    ASMAUL HUSNA


    About Me

    Foto Saya
    Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
    Jl. Menoreh Tengah II/ 14 Sampangan