Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai lompatan
peradaban yang dicapai manusia modern dewasa ini tidak serta meminggirkan
posisi agama bagi manusia. Sebaliknya, justru kita melihat bahwa agama saat ini
semakin mengokohkan perannya sebagai salah satu sumber spiritualitas yang terus
dicari. Tidak hanya di Timur, di Negeri
Barat pun kita melihat trend perkembangan
menarik berupa maraknya perhatian terhadap agama. Pada akhirnya kita melihat
bahwa agama semakin diakui eksistensinya sebagai penopang modernitas.
Di Indonesia, salah
satu wujud perhatian besar kepada nilai-nilai
agama itu, kita jumpai pada
merebaknya berbagai kelompok kajian dan ta’lim
serta tumbuh suburnya sekolah-sekolah yang mencoba menerapkan model pendidikan
ganda, antara pendidikan umum dan agama. Selaian menawarkan pendidikan umum
berkualitas, banyak sekolah bermetaforakan menjadi sekolah “plus” atau
“terpadu” dengan menawarkan pengajaran agama dan komprehensif. Berbagai boarding
shcool dan sekolah berasrama itu
dibentuk dengan dilandasi pemikiran
bagaimana mencetak anak didik yang utuh, yang mengusai ilmu pengetahuan
dan teknologi sekaligus kepribadian dan akhlak yang mulia.
Model dan pola
pendidikan tersebut memiliki beberapa kelebihan terutama dalam bidang
pembentukan kepribadian dan karakter. Pada dasarnya hal tesebut mencoba
menangkap ruh pendidikan pesantren dimana santri sebagai anak didik tidak
sekedar mendapat pengetahuan kognitif, tetapi setiap hari dikondisikan dalam suasana
lingkungan yang baik di samping secara langsung dipilih contoh hidup oleh kiai
pengasuhnya. Beberapa kelebihan yang mencuat adalah bahwa pola pendidikan ini
berupaya mengembangkan tipe bentuk pembentukan perilaku, kepribadian karakter
secara koperensif. Sebagaimana dalam study psikologi sosial, perilaku bisa
dibentuk melalui insight (pemberian
pengertian), kondisioning (pengkondisian lingkungan) dan modeling (pemberian contoh). (Bimo Walgito:1987).
Ketiga hal ini lah yang melekat dalam kehidupan pesantren.
Beberapa perguruan
tinggi mencoba mengejawantahkan konsep
tersebut dalam bentuk pesantren mahasiswa. Model pesantren mahasisiwa diyakini
memberi nilai lebih mahasiswa. Selain
mendapat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, mahasisiwa juga memperoleh
pengetahuan dan nilai-nilai luhur agama. Setidaknya, model-model pesantren
mahasiswa diyakini cukup efektif perannya sebagai “kondisioning media” untuk
meredam bebagai perilaku negatif yang mungkin muncul dikalangan mahasiswa.
Yang lebih mendasar,
pengembangan pondok pesantren di lingkungan kampus sebenarnya dilandasai
semangat dan keinginan mulia untuk mencetak kader bangsa dari kalangan generasi
muda umat Islam agar memiliki kemampuan akademik mumpuni sesuai tuntutan zaman
dengan tidak meninggalkan akidah dan akhlah islamiah. Hal itu terbesit dari
tujuan pendirian beberapa pesantren kampus yang biasanya ditujukan untuk
mencetak muslim yang unggul, intelek, dan profesional yang memiliki kemantapan
akidah dan kedalaman spritual serta berakhlaqul karimah.
Dalam kaitan tersebut,
Universitas Wahid Hasyim juga telah lama mencoba mengembangkan sebuah pesantren
kampus yang unggul (Pondok Pesanteren Luhur Wahid Hasyim-PPLWH). Pengembangan
PPLWH ini dilandasi pemikiran untuk mencetak cendikiawan profesional bertaqwa
dan berbudaya, seperti simbol pertautan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu
sisi serta penguasaan agama di sisi lain, sebagaimana Universitas Wahid Hasyim.
Dalam kontek yang luas, kebutuhan untuk menghadirkan sosok pribadi yang handal
serta memiliki visi kebangsaan dan kemajemukan yang kuat juga merupakan suatu
kebutuhan yang didasari para pendiri Universitas Wahid Hasyim. Dalam kaitan
ini, PPLWH diharapkan meneruskan dan mewariskan paham ahlu sunnah wal jamaah (aswaja) yang syarat dengan inklusifitas
dan toleransi sebagaimana nilai-nilai tasawuf,
tawasuth, dan i’tidal dirasakan semakin perlu diwariskan. Ajaran ini telah
menjadi pijakan pokok pikir dan perilaku ubudiyah dan sosial yang menjadi
semakin penting eksisitensinya. Apalagi ditengah merebaknya radikalisasi dan
terorisme berbasis agama, maka ajaran yang menghargai kemajemukan itu semakin
dibutuhkan dalam konteks masyarakat yang plural seperti indonesia.
Selain itu, sebagai
Universitas yang memiliki ikatan emosional dengan Jamaah (warga) Nahdhatul Ulama (NU) sekaligus memiliki ikatan
historis dan berada dalam naungan jam’iyyah
(organisasi) Nahdatul Ulama, pesantren mahasisiwa jadi penegak jatidiri
Universitas Wahid Hasyim. Hal ini terkait dengan tujuan pendirian Universitas
ini yang juga dimaksudkan sebagai khidmah
(pengabdian) terhadap warga dan organisasi Nahdatul Ulama yang sangat melekat
dengan karakteristik dunia pesantren.
Pada
dataran praktis, dijumpai pula banyak orang tua dan calon mahasiswa yang
tertarik untuk melanjutkan studi
di Universitas Wahid Hasyim Semarang karena nilai lebih ini. Banyak orang tua
mahasiswa yang sangat mengharapkan putra - putrinya bisa melanjutkan studi kuliah di Universitas Wahid
Hasyim dengan tinggal di pesantren. Mereka mengaku lebih merasa tentram bila
putra-putrinya bisa kuliah dan tinggal di pesantren.
A.
Sejarah
Perkembangan Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim
Sebagai
bagian integral kampus, sejarah perkembangan Pesantren Luhur Wahid Hasyim PPLWH
sangat terkait dengan sejarah
perkembangan Universitas Wahid Hasyim. Sejak pendirian kampus pada tahun 2000, Universitas
Wahid Hasyim telah mulai merintis pesantren mahasiswa (Pondok Pesantren Luhur
Wahid Hasyim) ini meski dalam bentuk sederhana. Sehingga pada tanggal 10
Oktober 2000, beberapa bulan setelah Universitas Wahid HaSyim Semarang berdiri.
Awalnya, pesantren masih berupa rumah tinggal yang dikontrak oleh Universitas
Wahid Hasyim untuk tinggal menetap dan mengaji para santri. Dengan kondisi
tesebut, maka sisitem pendidikan dan kepengasuhan belum berjalan optimal
disamping daya tampung PPLWH masih sangat terbatas. Universitas pada akhirnya
memutuskan baru menerima santri putra untuk menetap.
Seiring perkembangan dan usia
kampus Universitas Wahid Hasyim, rumah tinggal dan tanah tempat PPLWH berada akhirnya
dibeli dan menjadi milik Universitas Wahid Hasyim dengan kapasitas ruang dan kondisi bangunan yang
kurang refresentatif berdinding kayu dan berlantai semen serta karena faktor
usia, PPLWH saat ini hanya menampung 25 santri putra, bangunan yang ada berisi
enam kamar tidur santri, satu ruang kantor, satu ruang tamu yang menjadi ruang mengaji, ruang dapur dan dua ruang kamar mandi. penataan dan
perbaikan kemudian terus dilakukan baik fisik maupun sistem pendidikannya. pada
tahun keempat,
pemikiran dan tekad untuk memformulasikan format PPLWH yang ideal semaikin
mengental. Pada akhirnya universitas merasa sangat mendesak untuk dilakukan
pembangunan Pondok Pesantren Luhur Wahid
Hasyim. Alasannya, dengan bangunan fisik yang ideal, maka sistem
pendidikan pesantren serta optimalisasi fungsinya akan lebih bisa dilakukan
secara maksimal. Dan juga diperkuat oleh tuntutan karena orang tua mahasiswa yang mengaku lebih merasa
tentram bila putranya
bisa kuliah dan tinggal di pesantren.
Seiring dengan perkembangannya, Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim
Semarang sudah mempunyai bangunan tiga lantai yang ditempati oleh santri putra.
Sementara santri putri yang dulunya menempati bangunan dibelakang Rektorat,
kini bertempat di rusunawa (Rumah susun mahasiswa) tiga lantai sebelah barat
kampus dua Universitas Wahid Hasyim Semarang.
1.
Santri
Santri Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim Semarang pada tahun
kepengurusan 2012 mencapai jumlah 261 jiwa yang terdiri atas 111 santri putra
dan 150 santri putri dan berasal dari berbagai daerah di Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur seperti Semarang, Demak, Kudus,
Jepara, Pati, Grobogan, Rembang, Blora, Kendal, Batang, Pekalongan, Tegal,
Brebes, Wonosobo, Kebumen, Purwokerto, Cilacap, Tuban, Gresik, Bojonegoro,
Surabaya, Madura, Probolinggo, Cirebon, Indramayu, dan masih banyak lagi bahkan
banyak juga yang berasal dari luar Jawa.
Secara umum, jumlah santri yang berdomisili di Pondok Pesantren Luhur
Wahid Hasyim Semarang sejak tahun 2000 hingga tahun 2012 selalu bertambah
peminatnya untuk menimba ilmu di pesantren mahasiswa ini.
2.
Kepengurusan Pondok
Pesantren
Adanya kepengurusan di Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim Semarang
dipelopori oleh santri angkatan pertama tahun 2000 sejak berdirinya pondok
pesantren. Tanggungjawab pengaturan santri yang semula dipegang oleh pengasuh
kemudian dilimpahkan kepada pengurus yang dipimpin oleh Lurah (Sebutan
pimpinan Pondok Pesantren). Pengelolaan Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim
Semarang secara umum ditangani pengasuh, akan tetapi dalam kesehariannya
pengelolaan pesantren itu dilimpahkan kepada pengurus pesantren, baik pengurus
putra ataupun putri.
Pemilihan lurah Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim Semarang dilakukan
dengan metode pemilihan umum yang diadakan setiap dua tahun sekali pada tahun
2000-2007, namun pada tahun 2007-2012 pemilihan lurah diadakan setiap satu
tahun sekali. Setiap santri memiliki suara untuk memilih dan berhak dicalonkan
menjadi kandidat lurah pesantren dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan.
Akan tetapi mulai tahun 2011-2012 pemilihan lurah pondok pesantren putra
khususnya, mengalami perubahan metode pemilihan lurah yaitu menggunakan metode
pengangkatan langsung oleh pengasuh. Setelah pemilihan atau pengangkatan lurah
pesantren, kemudian lurah terpilih menunjuk wakil, sekretaris, bendahara dan
departemen-departemen berdasarkan kesepakatan tim formatur yang terdiri dari
atas lurah terpilih, lurah demisioner, mantan lurah dan sesepuh pondok
pesantren.
Rating:
100%
based on 10 ratings.
5 user reviews.
mungkin bisa diperbaharui lagi untuk masalh konten nya..karena ini terakhir juga 2012
BalasHapus